BANGTOGEL - Alkisah, semua anggota Pasukan Pembebasan Rakyat China, PLA, dilarang mengambil cuti selama perayaan Tahun Baru Imlek pada 10 Februari lalu.
Pada enam hari pertama usai pergantian tahun, setidaknya 43 jet tempur dan 29 kapal perang China bermanuver di Selat Taiwan, kata Kementerian Pertahanan di Taipei.
Beijing mengeklaim kedaulatan atas Taiwan yang merdeka sejak 1949. Sejak beberapa tahun terakhir, PLA rutin menggelar "patroli kesiapan tempur" dengan mengirimkan jet tempurnya melintasi "perbatasan" tidak resmi antara kedua negara.
Agresi militer China menjadi semakin intenstif sejak 2022, setelah kunjungan Ketua Kongres AS Nancy Pelosi ke Taiwan.
Beijing mengharamkan kunjungan kenegaraan di Taiwan, atau lawatan pejabat tinggi negara asing. Partai Komunis China menganggap kunjungan resmi sama dengan pengakuan terhadap kedaulatan Taipei.
Sesaat setelah lawatan Pelosi, China menggelar latihan militer terbesar di sekitar Taiwan, antara lain dengan uji coba peluru kendali balistik, manuver jet tempur, dan armada kapal perang.
Analis keamanan di Taiwan dan AS sepakat, patroli dan latihan militer oleh PLA akan meningkat di masa depan.
Dikhawatirkan, militer China kelak akan mengerahkan kekuatannya untuk mengepung dan mengisolasi Taiwan tanpa melancarkan serangan secara langsung.
- Dikawal kubu seteru
Januari silam, Wakil Presiden Taiwan Lai Ching-te memenangi pemilu kepresidenan dan bakal dilantik pada 20 Mei mendatang.
Lai dikenal sebagai seorang nasionalis garis keras yang tidak jengah menyuarakan kemerdekaan, sebuah pantangan bagi Partai Komunis China.
Di seberang selat Taiwan, Presiden Xi Jinping sudah mencanangkan reunifikasi sebagai harga mati.
Su Tzu-yun, peneliti di Institut Pertahanan Nasional dan Riset Keamanan, INDSR, meyakini Beijing melihat Taiwan sebagai batu loncatan untuk berekspansi di kawasan.
Lokasi Taiwan di "gugus kepulauan pertama," di mana Laut China Selatan berbatasan dengan Samudera Pasifik, menjadikannya strategis.
"Jika China berhasil mencapai sasarannya, Taiwan berpotensi menjadi seperti Hawaii bagi China," kata Su kepada DW, menekankan posisi strategis Taiwan sebagai gerbang bagi Angkatan Laut PLA.
Su memperkirakan, tekanan militer dari China akan "menjadi semakin normal dan lebih rutin," dibandingkan 2022.
Amanda Hsiao, analis senior China di wadah pemikir International Crisis Group, juga menganggap "ancaman yang paling nyata saat ini bukan invasi pendaratan oleh China, melainkan provokasi harian," di laut dan udara.
- Di bawah ancaman blokade militer
Dalam sebuah laporan yang dirilis pada Januari silam, Center for Strategic and International Studies (CSIS) memperkirakan dalam lima tahun ke depan ada kemungkinan lebih besar bagi China untuk melancarkan blokade laut dan udara terhadap Taiwan, ketimbang invasi darat.
Laporan itu beranjak dari wawancara dengan lebih dari 80 pakar militer di Taiwan dan Amerika Serikat pada akhir 2023 silam.
Lee Hsi-ming, pensiunan admiral Taiwan dan salah seorang partisipan survei, meyakini blokade sebagai "ancaman yang sangat besar bagi Taiwan," katanya kepada DW.
"Saya harus mengakui bahwa kami tidak punya kapabilitas konvensional atau asimetris yang bisa mencegah atau menggagalkan operasi semacam itu," imbuhnya.
Sebagian analis miiliter juga mengamini betapa blokade laut dan udara sebagai opsi paling aman bagi China.
"Jika Beijing mendeklarasikan perang terhadap Taiwan, satu-satunya hal yang dipedulikan oleh Presiden Xi Jinping adalah risiko kegagalan," tandas Lee.
"China sadar kemungkinannya kecil bahwa invasi darat berskala besar akan bisa berlangsung lancar."
- Kepentingan domestik AS
Sudah begitu, laporan CSIS turut mencatat keraguan analis di kedua negara terhadap kesediaan Pemerintah AS untuk menurunkan kekuatan tempurnya dalam skenario blokade China.
Ketidakpastian meningkat terutama menjelang pemilu kepresidenan di AS. Ketika Presiden Joe Biden dari Partai Demokrat menjanjikan intervensi militer, calon presiden Partai Republik belum mengadopsi komitmen yang sama.
Namun begitu, Hsiao dari CSIS meyakini Trump akan mampu menawarkan perlindungan yang lebih kuat bagi Taiwan.
Namun, pandangannya itu disanggah Elbridge Colby, bekas asisten menteri pertahanan AS.
"Pemerintahan Partai Republik di masa depan pastinya akan lebih memprioritaskan China," kata Elbridge Colby, merujuk pada hubungan ekonomi dan perdagangan.
Menurutnya, keterlibatan militer AS akan banyak bergantung kepada keinginan kuat Taiwan untuk mempertahankan diri.
"Amerika pada akhirnya hanya akan menolong mereka yang membantu dirinya sendiri," kata dia.